Emphati – Etika – Adab Dalam Berdangan
Manusia adalah makhluk dengan akal pikiran, rasa (perasaan),
Emosi (nafsu) dan insting yang melekat dalam dirinya semenjak dilahirkan. Bekal
ini adalah bawaan lahir manusia secara normal. Semua unsur tersebut dibutuhkan
oleh manusia, untuk bekal dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya di dunia. Saat
terjadi harmonisasi dan keseimbangan diantara untsur unsur tersebut, maka kedamaian
dan ketentraman akan menyelimuti manusia tersebut, akan tetapi bila terjadi
ketimpangan, yang biasanya berupa dominasi salah satu unsur atas unsur lainnya,
maka yg terjadi adalah keresahan, kepanikan, kekhawatiran, rasa sakit, tidak
nyaman dan lain sebagainya.
Berdasarkan bekal bawaan manusia di atas, maka dalam
hubungan sosial, dibutuhkan adanya aturan, tata krama, adab yang harus di taati
dan dilaksanakan oleh manusia, jika menginginkan adanya hubungan yang harmonis
dalam lingkungan sosialnya. Karena manusia apabila menglaami ketimpangan atau
ketidak harmonisan berbagai unsur bawaan dalam dirinya, akan memiliki
kecenderungan untuk menimbulkan konflik dalam hubungan sosialnya.
Dalam hal perdagangan, ada adab atau tata krama bagi
manusia, yang harus di taati bila menginginkan adanya kedamaian dalam hubungan
sosialnya. Karena perdagangan bukan sekedar jual dan beli, bukan sekedar
menawar dan terjadi akad. Akan tetapi lebih dari itu, kita mencari keberkahan
dalam perdagangan yang kita laksanakan.
Beberapa tahun yang lalu, ada seseorang (sebut saja Budi)
menawarkan kepada saya sebidang tanah, dia datang ke rumah dan menjelaskan
maksut kedatangannya, dia beritahukan lokasi tanahnya, strategis, dipinggir
jalan, ada pohon jati, dll. Dan kebetulan saya tahu lokasinya, saya minat dan
ingin membelinya, dalam fikiran saya, terbesit kata “perkiraan harganya
-/+Rp.150jt.” Kemudian kami melanjutkan obrolan, di tengah obrolan yg terjadi,
Budi memberitahukan kepada saya bahwa tanah ini Sudah di tawar seseorang (Sebut
saja Ali) sebesar Rp.130jt. tapi Budi mengatakan ke Ali belum bisa
memberikannya dengan harga itu.
Mendengar penuturan Budi, saya terdiam dan sejenak kemudian
menyatakan blm berminat. Tapi belum berminat disini bukan berarti saya benar
benar tidak berminat, akan tetapi sesuai penuturan Budi, tanah ini masih dalam
taraf tawar menawar antara Budi dengan Ali.
Ali menawar Rp.130jt dan Budi belum memberikannya, kata kata
belum bisa memberikannya ini berarti tanah tersebut masih dalam proses
transaksi, karena kata “Belum” artinya masih ada kemungkinan “Bisa/Jadi”
transaksinya. Meskipun saya bisa menyanggupi lebih tinggi dari harga yang
ditawarkan oleh Ali, tapi saya tidak berminat untuk merusak transaksi antara
Budi dan Ali. Karena memang adab jual beli seperti itu tidak diperbolehkan. Dalam
Islam, menawar barang yang sedang di tawar oleh saudara kita itu tidak
dibenarkan. Kecuali jika Budi sudah menyatakan Tidak terhadap Ali, maka
kemungkinan saya berani mengajukan penawaran.
Inilah adab yang harus kita jaga, kita pertahankan, karena
keberkahan dalam proses transaksi jual beli atau perdagangan yang kita lakukan
juga dipengaruhi oleh prosesnya.
Pada kesempatan lain, saya menjumpai proses jual beli barang
antara seorang pedagang dengan pembeli, yang kebetulan saya juga memiliki
barang tersebut dan bisa memberikan harga yang lebih murah dari yg ditawarkan
penjual tadi, tapi saya diam dan tidak menyela proses transaksi yg mereka
lakukan. Karena meski saya bisa memberikan harga yg lebih murah, adab dan etika
dalam berjualan sepertri itu tidak diperkenankan dalam Islam.
Yang terbaik adalah kita tetap fokus dengan barang dagangan
kita, dengan harga yg telah kita tetapkan, tanpa mencampuri proses transaksi
orang lain ataupun mengurusi harga yg di tetapkan oleh orang lain. Karena setiap
pedagang memiliki pertimbangan tersendiri dalam menetapkan harga barang
dagangannya.
Adab adab seperti ini yg harus kita jaga jika kita
menghendaki keharmonisan dan keberkahan dalam perdagangan yg kita lakukan.
Semoga sedikit coretan ini bisa bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar